Refleksi kebangsaan: Menyatu dalam Perbedaan di Dunia Kampus.
Nama: Aurel Irza Safira_E42
Abstrak
Artikel ini merupakan narasi reflektif pribadi tentang penerapan nilai kebangsaan dalam kehidupan sehari-hari sebagai mahasiswa di lingkungan kampus yang multikultural. Fokus utama adalah bagaimana prinsip Bhinneka Tunggal Ika, sebagai salah satu pilar Pancasila, menjadi fondasi untuk menyatukan perbedaan budaya, agama, dan etnis di tengah tantangan globalisasi. Melalui pengalaman pribadi, saya merefleksikan bagaimana interaksi sosial di kampus memperkuat rasa persatuan dan toleransi. Permasalahan yang dibahas mencakup potensi konflik akibat perbedaan, sementara pembahasan menyoroti strategi adaptasi nilai kebangsaan. Kesimpulan menekankan pentingnya pendidikan karakter berbasis nasionalisme, dengan saran untuk meningkatkan kegiatan kampus yang inklusif.
Kata Kunci
Nilai kebangsaan, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, keberagaman kampus, refleksi pribadi, toleransi, persatuan.
Pendahuluan
Sebagai seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Indonesia, kehidupan kampus menjadi wadah utama bagi saya untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai kebangsaan. Nilai kebangsaan, yang tertanam dalam Pancasila sebagai dasar negara, bukan hanya konsep abstrak, melainkan panduan hidup yang relevan di era digital dan globalisasi saat ini. Pancasila, dengan sila kelima yang menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta moto Bhinneka Tunggal Ika yang melambangkan persatuan dalam keberagaman, menjadi inspirasi bagi saya untuk merefleksikan pengalaman pribadi.
Dalam konteks kampus, di mana mahasiswa berasal dari berbagai latar belakang seperti suku Jawa, Batak, Papua, hingga minoritas etnis lainnya. Keberagaman ini justru menjadi kekuatan sekaligus tantangan. Pengalaman saya selama tiga semester kuliah telah membuka mata saya akan pentingnya nilai kebangsaan sebagai "lem" yang menyatukan perbedaan. Artikel reflektif ini, sebagai bagian awal portofolio sikap saya, bertujuan untuk menggambarkan bagaimana nilai-nilai tersebut terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari interaksi kelas hingga kegiatan ekstrakurikuler. Dengan demikian, refleksi ini tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga berkontribusi pada pemahaman kolektif tentang nasionalisme di kalangan generasi muda.
Permasalahan
Di dunia kampus yang dinamis, perbedaan sering kali muncul sebagai permasalahan utama yang menguji ketahanan nilai kebangsaan. Seperti terdapat di suatu kelompok, ada mahasiswa dari Sulawesi yang berlatar belakang Kristen, sementara teman nya yang lain berasal dari keluarga Muslim Jawa, Awalnya, perbedaan pandangan tentang isu lingkungan seperti konflik antara tradisi adat dan modernisasi menimbulkan ketegangan. Beberapa anggota kelompok bahkan saling menyalahkan, yang hampir merusak kolaborasi mereka.
Permasalahan ini mencerminkan isu yang lebih luas di kampus: potensi konflik horizontal akibat keberagaman. Menurut Materi Pembelajaran 1 (Pancasila sebagai Ideologi Negara, 2023), nilai kebangsaan seperti gotong royong dan toleransi sering terabaikan di tengah tekanan akademik dan pengaruh media sosial yang mempolarisasi opini. Di kampus, di mana mahasiswa dari 34 provinsi berkumpul, perbedaan agama, suku, dan ekonomi bisa memicu diskriminasi halus, seperti stereotip etnis atau penolakan terhadap budaya minoritas. Pandemi COVID-19 memperburuk situasi ini, dengan isolasi yang membuat interaksi tatap muka berkurang, sehingga rasa persatuan tergerus. Bagi saya, permasalahan ini menjadi titik refleksi: bagaimana nilai kebangsaan bisa menjadi solusi untuk membangun harmoni di tengah perbedaan yang semakin kompleks?
Pembahasan
Refleksi saya tentang nilai kebangsaan dimulai dari pemahaman bahwa Pancasila bukan sekadar hafalan, melainkan praktik harian. Dalam Materi Pembelajaran 1, dijelaskan bahwa Bhinneka Tunggal Ika berasal dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14, yang menekankan persatuan meski berbeda keyakinan. Prinsip ini saya terapkan dalam kehidupan kampus melalui berbagai pengalaman.
Pertama, interaksi sosial menjadi ujian nyata. Saat ikut organisasi mahasiswa seperti UKM Seni Budaya, saya berkolaborasi dengan teman dari Papua untuk mempersiapkan pentas seni. Awalnya, perbedaan gaya tari tradisional Papua yang energik versus Jawa yang halus menimbulkan perdebatan. Namun, dengan menerapkan sila kedua Pancasila tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, kami belajar saling menghargai. Hasilnya, pertunjukan kami sukses dan memperkuat ikatan persahabatan. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa nilai kebangsaan seperti toleransi bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan untuk inovasi.
Kedua, di kelas daring selama pandemi, saya aktif dalam forum diskusi tentang isu nasional. Saat membahas konflik di Papua, pandangan berbeda muncul: beberapa teman melihatnya sebagai isu politik, sementara yang lain dari perspektif budaya. Saya merefleksikan sila pertama Pancasila tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mendorong dialog inklusif. Dengan berbagi cerita pribadi tentang kunjungan ke museum sejarah, saya berhasil meredakan ketegangan dan membangun pemahaman bersama. Ini sejalan dengan temuan Anderson (1991) dalam Imagined Communities, yang menyatakan bahwa nasionalisme modern dibangun melalui narasi bersama di ruang publik seperti kampus.
Ketiga, kegiatan kemahasiswaan seperti Hari Kemerdekaan menjadi momen reflektif. Saya terlibat dalam lomba pidato tentang Pancasila, di mana saya berbicara tentang bagaimana keberagaman kampus mencerminkan Indonesia mini. Meski ada kritik dari peserta lain yang merasa pidato saya terlalu idealis, interaksi pasca-acara justru memperdalam apresiasi terhadap perbedaan. Seperti yang dikemukakan oleh Magnis-Suseno (2001) dalam Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, etika kebangsaan mengharuskan kita untuk "menyatu dalam perbedaan" melalui empati dan tanggung jawab sosial.
Secara keseluruhan, pembahasan ini menunjukkan bahwa nilai kebangsaan telah membentuk sikap saya: dari mahasiswa yang awalnya ragu menjadi individu yang proaktif dalam mempromosikan persatuan. Di dunia kampus, perbedaan bukan penghalang, melainkan peluang untuk memperkaya identitas nasional.
Kesimpulan dan Saran
Dari refleksi ini, saya menyimpulkan bahwa nilai kebangsaan, khususnya Bhinneka Tunggal Ika, menjadi kunci untuk menyatu dalam perbedaan di dunia kampus. Pengalaman pribadi saya membuktikan bahwa Pancasila bukan hanya warisan leluhur, melainkan alat hidup untuk mengatasi tantangan multikultural. Dengan menerapkannya, saya merasa lebih percaya diri dan berkontribusi pada masyarakat yang harmonis.
Sebagai saran, kampus sebaiknya meningkatkan program pendidikan karakter berbasis nilai kebangsaan, seperti workshop toleransi antar-etnis dan integrasi mata kuliah Pancasila dalam kurikulum. Selain itu, mahasiswa diharapkan lebih aktif dalam kegiatan lintas budaya untuk memperkuat rasa persatuan. Dengan demikian, generasi muda dapat menjadi penerus bangsa yang tangguh.
Daftar Pustaka
1. Materi Pembelajaran 1. (2023). Pancasila sebagai Ideologi Negara. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
2. Anderson, B. (1991). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Verso Books.
3. Magnis-Suseno, F. (2001). Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Gramedia Pustaka Utama.
4. Notosusanto, N. (Ed.). (1985). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno hingga Kolonial. Balai Pustaka.
Komentar
Posting Komentar